kisah seribu satu malam./buah apel pembawa berkah.

INTRODUCTION TO THE STORY 1001 NIGHTS.

 


One Thousand and One Nights  ( Arabic : ألف ليلة وليلة , Alf lailah wa-lailah ; English : One Thousand and One Nights ; Persian : هزار و یک شب , Hezār-o yek syab ) is an epic literature from the Middle East born in The Middle Ages . This group of stories tells the story of a queen of the Sasan dynasty, Syahrazad who tells a series of fascinating stories to her husband, Raja Syahriar, to postpone the death sentence on her. He told these stories for a thousand and one years                  evening . Every night, Shahrazad ended his story with a tense ending so that the king always suspended the death sentence order so he could hear the continuation of the story that Syahrazad had told.  

Painting of Syahrazad and King Syahriar by Ferdinand Keller, 1880  

The Thousand and One Nights Book consists of collections of stories with different characters and interesting storylines. It includes legends , fables , romances and fairy tales from different settings such as Baghdad , Basra , Cairo and Damascus as well as to China , Greece , India , North Africa and Turkey .                 






There is a legendary story from the land of Arabia that is so famous that it has been told for generations and has been translated into various other languages. The story is named Laila and Majnun, a pair of lovers who weave an eternal love story that ends tragically.

This story is actually already known in Persia (the old name of Iran) in the 9th century. However, this love story only became popular after being beautifully composed by a poet who was both from Persian origin in the 12th century named Nizami Ganjavi. Therefore, there have been various versions which were rewritten by other authors.



BUAH APEL PEMBAWA BERKAH







Tsabit bin Ibrahim Dan Apel Merah Pembawa Berkah

Seorang lelaki yang saleh bernama Tsabit bin Ibrahim sedang berjalan di pinggiran kota Kufah. Tiba-tiba dia melihat sebuah apel jatuh ke luar pagar sebuah kebun buah-buahan.

Melihat apel yang merah ranum itu tergeletak di tanah terbitlah air liur Tsabit, terlebih-lebih di hari yang sangat panas dan di tengah rasa lapar dan haus yang mendera.

Maka tanpa berpikir panjang dipungut dan dimakanlah buah apel yang terlihat sangat lezat itu. Akan tetapi baru setengahnya di makan dia teringat bahwa buah apel itu bukan miliknya dan dia belum mendapat ijin pemiliknya.

Maka ia segera pergi ke dalam kebun buah-buahan itu dengan maksud hendak menemui pemiliknya agar menghalalkan buah apel yang telah terlanjur dimakannya. Di kebun itu ia bertemu dengan seorang lelaki. Maka langsung saja ia berkata,

"Aku sudah memakan setengah dari buah apel ini. Aku berharap Anda menghalalkannya". Orang itu menjawab,

"Aku bukan pemilik kebun ini. Aku hanya khadamnya yang ditugaskan merawat dan mengurusi kebunnya".

Dengan nada menyesal Tsabit bertanya lagi, "Dimana rumah pemiliknya? Aku akan menemuinya dan minta agar dihalalkan apel yang telah kumakan ini."

Pengurus kebun itu memberitahukan, "Apabila engkau ingin pergi kesana maka engkau harus menempuh perjalanan sehari semalam".

Tsabit bin Ibrahim bertekad akan pergi menemui si pemilik kebun itu. Katanya kepada orangtua itu, "Tidak mengapa. Aku akan tetap pergi menemuinya, meskipun rumahnya jauh. Aku telah memakan apel yang tidak halal bagiku karena tanpa seijin pemiliknya. Bukankah Rasulullah Saw sudah memperingatkan kita lewat sabdanya : "Siapa yang tubuhnya tumbuh dari yang haram, maka ia lebih layak menjadi umpan api neraka."

Tsabit pergi juga ke rumah pemilik kebun itu, dan setiba disana dia langsung mengetuk pintu. Setelah si pemilik rumah membukakan pintu, Tsabit langsung memberi salam dengan sopan, seraya berkata, "Wahai tuan yang pemurah, saya sudah terlanjur makan setengah dari buah apel tuan yang jatuh ke luar kebun tuan. Karena itu sudikah tuan menghalalkan apa yang sudah kumakan itu ?"

Lelaki tua yang ada di hadapan Tsabit mengamatinya dengan cermat. Lalu dia berkata tiba-tiba, "Tidak, aku tidak bisa menghalalkannya kecuali dengan satu syarat."

Tsabit merasa khawatir dengan syarat itu karena takut ia tidak bisa memenuhinya. Maka segera ia bertanya, "Apa syarat itu tuan?" Orang itu menjawab,

"Engkau harus mengawini putriku !"

Tsabit bin Ibrahim tidak memahami apa maksud dan tujuan lelaki itu, maka dia berkata, "Apakah karena hanya aku makan setengah buah apelmu yang jatuh ke luar dari kebunmu, aku harus mengawini putrimu ?"

Tetapi pemilik kebun itu tidak menggubris pertanyaan Tsabit. Ia malah menambahkan, katanya, "Sebelum pernikahan dimulai engkau harus tahu dulu kekurangan-kekurangan putriku itu. Dia seorang yang buta, bisu, dan tuli. Lebih dari itu ia juga seorang gadis yang lumpuh !"

Tsabit amat terkejut dengan keterangan si pemilik kebun. Dia berpikir dalam hatinya, apakah perempuan semacam itu patut dia persunting sebagai isteri gara-gara ia memakan setengah buah apel yang tidak dihalalkan kepadanya? Kemudian pemilik kebun itu menyatakan lagi, "Selain syarat itu aku tidak bisa menghalalkan apa yang telah kau makan !"

Namun Tsabit kemudian menjawab dengan mantap, "Aku akan menerima pinangannya dan perkawinannya. Aku telah bertekad akan mengadakan transaksi dengan Allah Rabbul Alamin. Untuk itu aku akan memenuhi kewajiban-kewajiban dan hak-hakku kepadanya karena aku amat berharap Allah selalu meridhaiku dan mudah-mudahan aku dapat meningkatkan kebaikan-kebaikanku di sisi Allah Taala".

Maka pernikahanpun dilaksanakan. Pemilik kebun itu menghadirkan dua saksi yang akan menyaksikan akad nikah mereka. Sesudah perkawinan usai, Tsabit dipersilahkan masuk menemui istrinya. Sewaktu Tsabit hendak masuk kamar pengantin, dia berpikir akan tetap mengucapkan salam walaupun istrinya tuli dan bisu, karena bukankah malaikat Allah yang berkeliaran dalam rumahnya tentu tidak tuli dan bisu juga. Maka iapun mengucapkan salam, "Assalamualaikum..."

Tak dinyana sama sekali wanita yang ada dihadapannya dan kini resmi menjadi istrinya itu menjawab salamnya dengan baik. Ketika Tsabit masuk hendak menghampiri wanita itu, dia mengulurkan tangan untuk menyambut tangannya. Sekali lagi Tsabit terkejut karena wanita yang kini menjadi istrinya itu menyambut uluran tangannya.

Tsabit was shocked to see this statement. "Her father said she was a deaf and dumb woman but it turned out that she greeted her well. If so it means that the woman in front of me can hear and not dumb. Her father also said that she was blind and paralyzed but it turned out that he welcomed my arrival kindly and extended his hand with friendly, "Tsabit said in his heart. Tsabit wondered why his father delivered news that was contrary to the actual facts?

After Tsabit sat next to his wife, he asked, "Your father told me you were blind. Why?

The woman then said, "My father is right, because I have never seen anything that is forbidden by Allah".

Tsabit asked, "Your father also said that you are deaf. Why?"

The woman replied, "My father is right, because I never want to hear the news and stories of people who do not please Allah. My father also told you that I am mute and paralyzed, right?" asked the woman to Thabit, who is now legally her husband.

Tsabit nodded slowly in affirmative to his wife's question. Then the woman said, "I was said to be mute because in many cases I only used my tongue to chant the name of Allah Taala. I was also said to be paralyzed because my feet have never gone to places that could upset Allah Taala".

Thabit was very happy to have a wife who turned out to be very pious and a woman who would take good care of himself and protect his rights as a husband. He proudly said of his wife, "When I saw her face, Subhanallah, she was like the full moon on a dark night."

Thabit and his salihah and beautiful and handsome wife lived in harmony and happiness. Not long after, they were blessed with a son whose knowledge radiated wisdom to all corners of the world. That is Al Imam Abu Hanifah An Numan bin Thabit. (ar / oq / suaramedia.com) 

 


Comments